Pesawat terbang kecil itu baru tujuh menit meninggalkan Bandara Tunggul Wulung, Cilacap, ketika tiba-tiba diterpa cuaca buruk. Guncangan dahsyat bagai mengacak-acak isinya. Lampu berkedip-kedip dan beberapa saat padam.
Untung tak sampai sepuluh menit kemudian, keadaan membaik. Tapi penumpang di deret paling depan, Bariq Kurnia, sudah bersandar tak bernyawa di jendela. Mata melotot, lidah menjulur, dan seutas kabel melilit di lehernya.
Tak ada penumpang di deret belakangnya. Selisih satu baris ada pasangan Fadhli dan Faqih yang saling berpelukan dalam ekspresi takut. Di belakang mereka ada Wildan yang terdiam mendekap bantal. Di seberang lorong pada deret sejajar Bariq, Ajie Kresna terdiam memegang setumpuk kertas dan bolpoin.
Sementara tiga deret di belakang Wildan ada Kresna Bagas yang juga terdiam. Keenam orang itu petualang yang baru selesai belajar di Mangifera Indica Intenational Junior High School, dan pulang ke Jakarta dengan pesawat Carteran.
Begitu lampu menyala, kopilot Daffai segera ke kabin. Ia memeriksa Bariq, kemudian menatap lima penumpang lain.
“Ada yang bisa menceritakan kejadian tadi?” ia bertanya.
“Saya tak tahu siapa, tapi yang jelas tadi ada bayangan berkelebat di depan,” kata Fadhli.
“Tapi sulit untuk mengenalinya, Mas, gelap. Yang jelas, sepanjang cuaca buruk tadi kami Cuma berpelukan sambil berdoa,” Faqih menimpali.
“Selain gelap, bentuk dan ukuran badan kami ini enggak jauh beda. Jadi memang sulit dikenali,” Wildan menyahut.
“Kalau Anda, Dek?” Daffai bertanya kepada Ajie Kresna.
“Mas bias lihat ini. Sepanjang penerbangan saya menulis laporan,” jawab Ajie sambil memperlihatkan kertas dan buku catatannya yang berisi tulisan rapi. “Mas tanya saja pada Bagas siapa pelakunya. Sebab dia yang sejak lama bermusuhan dengan Bariq.”
“Saya tidak memusuhinya!” Kresna Bagas menyela. Di pembelajaran ini memang banyak pertengkaran kecil. Meski kadang jengkel dengan sikap Bariq, saya tetap solider. Saya enggak mau mencelakakan dia.”
“Ya sudah, polisi Bandara yang harus menginterograsi Anda semua,” kata Daffai sambil kembali ke kokpit.
“Lapor, kap. Kita harus kontak Bandara Halim, suruh mereka menyiapkan polisi. Satu penumpang kita harus ditangkap atas tuduhan pembunuhan.”
“Kamu tahu pelakunya, Daff?” tanya kapten Irfan Dwiputra.
“Ya, si … yang membunuh Bariq. Saya yakin.”
Siapakah yang diyakini Daffa sebagai pembunuh Bariq, dan fakta apa yang mendasarinya. ?
[ You just Comment to Answer ]
0komentar:
Post a Comment